Monday 13 December 2010

Kolintang atau kulintangadalah alat musik khas daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Kolintang dibuat dari kayu lokal yang ringan namun kuat seperti telur, bandaran, wenang, kakinik kayu cempaka, dan yang mempunyai konstruksi fiber paralel.
Nama kolintang berasal dari suaranya: tong (nada rendah), ting (nada tinggi) dan tang (nada biasa). Dalam bahasa daerah, ajakan "Mari kita lakukan TONG TING TANG" adalah: " Mangemo kumolintang". Ajakan tersebut akhirnya berubah menjadi kata kolintang.
Beberapa group terkenal seperti Kadoodan, Tamporok, Mawenang yang sudah eksis lebih dari 35 tahun.Pembuat kolintang tersebar di Minahasa dan di pulau Jawa,salah satu pembuat kolintang yang terkenal Petrus Kaseke,...
Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan ragam budaya. Banyak budaya yang harus diperjuangkan keberadaannya agar tetap eksis dan diakui dunia. Sebut saja kolintang, alat musik tradisioanal dari Minahasa ini dilirik Malaysia untuk dijual menjadi aset wisata andalannya. Dalam sejarahnya kolintang dipakai oleh warga Minahasa pada saat upacara ritual untuk pemujaan arwah leluhur. Seiring dengan masuknya agama Kristen yang dibawa misionaris Belanda, keberadaan kolintang terdesak dan akhirnya mulai menghilang. Kemudian mulai kembali terdengar setelah Perang Dunia II, pada saat itu seorang seniman tuna netra asal Minahasa yaitu Nelwan Kutuuk menyusun nada kolintang menurut nada musik universal.
Penamaan kolintang berasal dari nada yang dihasilkannya, yaitu tong untuk nada rendah, tang untuk nada sedang, dan ting untuk nada tinggi. Dalam bahasa daerah Minahasa, ajakan untuk bermain alat musik ini berbunyi “mangemo kumolintang”, yang artinya mari kita bertong-ting-tang. Untuk mempermudah pengucapannya maka timbullah istilah kolintang.
Dahulunya kolintang hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer di atas kedua kaki pemain yang duduk membujur lurus ke depan di atas tanah. Kemudian kedua kaki pemain diganti dengan batang pisang atau kadang-kadang diganti dengan tali. Penggunaan peti resonator mulai diterapkan pada saat Pangeran Diponegoro dibuang ke Manado tahun 1830, konon peralatan gamelan ikut dibawa rombongan ini.
Pada mulanya kolintang terdiri dari satu melodi dengan susunan nada diatonis, berjarak nada 2 oktaf, dan sebagai pengiring dipakai alat-alat string seperti gitar, ukulele, dan stringbas. Tahun 1954 kolintang dibuat 2 setengah oktaf (masih diatonis). Pada tahun 1960 sudah naik menjadi tiga setengah oktaf (1 kruis, naturel, dan 1 mol) dan bisa dimainkan 2 orang pada satu alat. Pengembangan musik kolintang tetap berlangsung baik kualitas alat, perluasan jarak nada, bentuk peti resonator (untuk memperbaiki suara), maupun penampilan. Saat ini kolintang yang dibuat sudah mencapai 6 oktaf dengan chromatisch penuh.
Sebuah kolintang mempunyai 14-21 bilah kayu yang panjangnya sekitar 30-100 cm. Kayu yang lebih pendek menghasilkan tangga lagu (not) yang tinggi, sebaliknya kayu yang panjang menghasilkan not yang rendah. Kayunya adalah kayu lokal seperti, kayu telur, bandaran, wenang, kakinik atau sejenisnya (jenis kayu yang agak ringan tapi cukup padat dan serat kayunya disusun agar membentuk garis sejajar). Dalam perkembangannya saat ini, kayu yang bagus digunakan adalah kayu waru gunung dan kayu cempaka.
Kolintang sendiri ada 4 tipe, yaitu: soprano, alto, tenor, dan bas.
Permainan musik kolintang tidaklah individual. Dibutuhkan minimal 6 orang pemain musik, lebih lengkapnya dibutuhkan 9 orang. Satu set kolintang terdiri dari: melodi (kolintang 1), pengiring  kecil (banjo kolintang), pengiring menengah (ukulele kolintang), pengiring besar 1 (gitar kolintang 1), pengiring besar 2 (gitar kolintang 2), bas kecil (sello kolintang), bas normal (bas kolintang), selain itu juga dilengkapi kotak dan pemukul serta tutup kolintang.
Perkembangan kolintang tampil sebagai alat musik tradisional Indonesia di dunia cukup baik. Banyak kelompok musik yang memainkan kolintang di luar seperti Singapura, Australia, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara lainnya. Pemesanan terhadap kolintang pun banyak berdatangan dari luar seperti Australia, Cina, Korea Selatan, Hong Kong, dan lain-lain. Permainan musik kolintang banyak ditampilkan untuk pagelaran-pagelaran seni, pesta pernikahan, upacara penyambutan, peresmian, pengucapan syukur, dan acara pertandingan. Harmoni dari berbagai nada terdengar indah dan memukau pendengarnya.
Kolintang merupakan alat musik khas dari Minahasa, Sulawesi Utara,  Indonesia. Kolintang terbuat dari bahan dasar kayu, seperti kayu telur, bandaran, wenang, kakinik atau sejenisnya (jenis kayu yang agak ringan tapi cukup padat dan serat kayunya tersusun sedemikian rupa membentuk garis-garis sejajar). Bila dipukul kolintang dapat mengeluarkan bunyi yang rentang suara yang panjang, dapat mencapai nada-nada tinggi (high pitch note) maupun rendah (low pitch note).

Nama Kolintang itu sendiri berasal dari bunyi: Tong (low pitch note), Ting (high pitch note) dan Tang (moderat pitch note). In the local language, the invitation “Let us do some TONG TING TANG ” is: “Mangemo kumolintang” . Dalam bahasa daerah Minahasa untuk mengajak orang bermain kolintang: “Mari kita ber Tong Ting Tang” dengan ungkapan “Mangemo kumolintang”. dan dari kebiasaan itulah muncul nama “Kolintang” untuk alat yang digunakan bermain.



Gambar 1. Alat Musik Kolintang
(sumber http://kolintangunik.blogspot.com/2009/05/gambar-gambar-kolintang.html)


Pada mulanya kolintang hanya terdiri dari satu melodi dengan susunan nada diatonis, dengan jarak nada 2 oktaf, dan sebagai pengiring dipakai alat-alat string seperti gitar, ukulele dan stringbass. Pasca perang dunia II barulah kolintang mulai berkembang ke arah alat musik universal, dipelopori oleh Nelwan Katuuk. Tahun 1954 kolintang sudah dibuat 2 ½ oktaf (masih diatonis). Pada tahun 1960 sudah mencapai 3 ½ oktaf dengan nada 1 kruis, naturel, dan 1 mol. Dasar nada masih terbatas pada tiga kunci (Naturel, 1 mol, dan 1 kruis) dengan jarak nada 4 ½ oktaf dari F s/d C. Dan pengembangan musik kolintang tetap berlangsung baik kualitas alat, perluasan jarak nada, bentuk peti resonator (untuk memperbaiki suara), maupun penampilan. Saat ini Kolintang yang dibuat sudah mencapai 6 (enam) oktaf dengan chromatisch penuh .
Penamaan alat-alat musik kolintang sebenarnya belum ada standarnya, namun untuk keperluan tulisan ini, saya memakai konsep pembagian nama alat oleh Petrus Kaseke (berdasarkan karakteristik suara dan rentang nada) yakni :
- Melody sebagai penentu lagu. Biasa juga disebut Ina taweng.
- Alto sebagai pengiring (accompanion) bernada tinggi. Biasa disebut Uner atau Katelu (alto 3).
- Tenor sebagai pengiring (accompanion) bernada rendah. Biasa disebut Karua.
- Cello sebagai penentu irama dan gabungan accompanion dengan bass.  Biasa disebut sella.



WHAT IS KOLINTANG?

Kolintang music instrument originated from Minahasa, a place in North Sulawesi, an island in the east part of Indonesia. It is made from light but solid local wood such as TELUR, BANDARAN, WENANG, KAKINIK whose fibre construction appears in parallel lines. It can produce a long sound which can reach high pitch note as well as low pitch note when struck.
 
The name Kolintang came from the sound: TONG (low pitch note), TING (high pitch note) and TANG (moderate pitch note). In the local language, the invitation "Let us do some TONG TING TANG" is: "Mangemo kumolintang". That settled the name of the instrument: KOLINTANG.
In its early days, Kolintang originally consisted of only a series of wooden bars placed side by side in a row on the legs of the players who would sit on the floor with both of their legs stretched out in front of them. Later on, the function of the legs was replaced either by two poles of banana trunk or by a rope which hung them up to a wooden plank. Story says that resonance box was beginning to be attached to this instrument after DIPONEGORO, a prince from Java who was exiled to Minahasa, brought along Javanese instrument GAMELAN with its resonance box, GAMBANG.
Kolintang had a close relationship with the traditional belief of Minahasa natives. It was usually played in ancestor worshipping rituals. That might explain the reason Kolintang was nearly totally left behind when Christianity came to Minahasa. It was so rarely played that it was nearly extinct for about a 100 year since then. It only reappeared after the World War II, pioneered by a blind musician NELWAN KATUUK, who reconstructed it accordingly to universal musical scales. Initially, there was only one kind of Kolintang instrument which was a 2 octave diatonical melody instrument. It was usually played with other string instruments such as guitar, ukulele or string bass as accompaniment.
We, ourselves, had only heard of Kolintang music when it was broadcasted by Indonesian Broadcasting Radio (RRI) in Menado in 1952
At that time, communication was not as advanced as today. Nelwan Katuuk was from North Minahasa while we were from Ratahan, South Minahasa.
We start the production of Kolintang outside its native land of Minahasa in 1964 in Yogyakarta, Central Java, At the same time we began introducing the instrument around Central Java, our musical group toured the area which later extended to cities in East and West Java. At that time Kolintang was still a single melody instrument accompanied by guitar, ukulele or string bass.
The next development was the idea of replacing string instruments with kolintang accompaniment. We began exploring the idea in 1966 and it was not until 1969 we managed to make our first Kolintang 'Orchestra' performance at Satya Wacana Christian University in Yogyakarta. Our band consisted of a set of 5 Kolintang, each with different function, namely Melody, Alto, Tenor, Cello and Bass.
,...


No comments:

Post a Comment